Thursday, September 17, 2015

Indahnya Memaafkan

“Mengapa tidak berani memaafkan ?”


Kita semua bisa memaafkan, tetapi harus mengakui bahwa TIDAK BERANI untuk memaafkan. Mengapa demikian ? Sebenarnya, alasannya sangat mudah yaitu :


"Saya sudah disakiti dan saya tida pernah akan lupa rasa sakit yang ada pada diri saya."


Hal ini saya alami. Sebuah peristiwa telah membuat saya bertengkar hebat dengan kakak lelaki saya, dan dia spontan mengatakan :


“kamu itu tukang bikin masalah saja. Selalu merepotkan keluarga. Tidak ada yang baik kamu lakukan untuk keluargamu"




Siapa yang tidak sakit hati dikatakan demikian ?

Tentunya ada yang tidak sakit hati, tetapi tidak dengan saya. Ucapan kakak adalah menyakitkan saya, dan mulai muncul benih kebencian dalam diri saya. Kebencian yang terus membesar tanpa kendali, dan bertahun-tahun saya tidak bicara dengannya.


Suatu saat, saya terima telpon dari kakak perempuan saya, dan diberitahu bahwa kakak saya sedang dalam kesulitan keuangan. Untuk membayar uang sekolah anaknya saja tidak bisa, dan anaknya terancam untuk tidak bisa lanjut sekolah. Dia ingin ketemu saya dan meminta bantuan.

Mendengar cerita kakak perempuan saya, dalam hati saya berkata :

"nah rasain sekarang. Kamu sedang bermasalah dan membutuhkan bantuanku. Memangnya aku akan membantumu ? Enak saja. Dulu kamu pernah menyakitiku, dan selamanya aku akan biarkan hidupmu menderita. Aku tidak akan membantumu"

Kembali ke percakapan dengan kakak perempuan, saya berkata : "ketemu boleh saja, tetapi nanti kalau aku ke Semarang." Sebenarnya, jawaban saya hanya pemanis bibir saja, dan kakak perempuan sayapun tahu bahwa saya tidak ingin berjumpa dan masih membenci kakak lelaki saya. Akhirnya kakak perempuan saya berkata : "baiklah, biarlah dia menunggumu. Tetapi apakah kamu tidak kasihan dengan keponakanmu yang nantinya tidak bisa sekolah ? Saya jawab : "dia bukan keponakanku. Keponakanku hanya anakmu saja" Akhirnya, daripada berdebat panjang, kakak perempuan menutup telpon dengan berkata "ya sudah, nanti kalau kamu ke Semarang khabari saja. Mama-mu kangen juga"

Selang beberapa bulan, akhirnya saya bisa mendapat liburan untuk ke Semarang. Hati terasa senang karena bisa berjumpa dengan mama. Singkat cerita, saya sudah di Semarang dan berjumpa dengan kakak perempuan, anak-anaknya, dan tentunya mama tercinta.

Di suatu sore, saat saya sedang duduk di teras bersama mama, kakak lelaku saya datang. Dia menyapa saya "hai apa khabar. Datang jam berapa ?" dan saya jawab "baik. Barusan sampai".  Kakak langsung masuk ke dalam rumah dan meninggalkan saya dan mama di teras.

Saya-pun melanjutkan ngobrol dengan mama. Sampai suatu saat, keponakan saya muncul dari dalam dan dengan sedikit bercanda dia berkata : "om..kok kamu jahat dengan kakak-mu. Dia khan sedang ada masalah. Janganlah begitu. Maafkan dia. Opa saja selalu memaafkan kamu walaupun kamu sering buat hatinya sedih dan marah."

Dhueeer.. bagaikan petir menyambar ! Saya kaget dengan ucapan ponakan saya. Apalagi ucapannya mengingatkan perlakuan almarhum papa kepada saya. Papa memang keras, dan saya sering membuat masalah yang membuat Papa kerepotan untuk menyelesaikannya, tetapi papa selalu memaafkan saya dan tidak pernah menunjukkan kemarahannya kepada saya.

Mendengar ucapan keponakan saya, ingin rasanya saya menangis teringat papa, dan ingin juga marah kepada keponakan karena ucapannya. Tetapi saya tahan semuanya itu, dan bengong. Melihat saya bengong, mama mengusap kepala saya dan berkata : "sudahlah, yang lalu sudah berlalu. Sekarang kamu sudah memenuhi keinginan papa dan mama. Papa mu juga bahagia melihatmu sekarang. Untuk masalah kakak-mu, terserah kamu saja. Toch dia sendiri yang buat kesalahan. Tetapi, kalau kamu mau bantu, ya bantulah sekolah anaknya saja. Biarpun kamu tidak suka dan tidak mengakui mereka keponakanmu, tetapi dia tetap cucu mama juga. Bantulah sekolah mereka, dan membantu mereka sama juga dengan membuat mamamu ini tambah bahagia. Tapi kalau kamu tidak mau mebantu, mama juga tidak bisa memaksa. Biarlah nanti mama pakai tabungan mama untuk membantunya."

Letak persoalannya bukan karena saya tidak mau membantu, tetapi karena saya masih membenci kakak lelaki saya. Kebencian saya sangat besar, dan ini membuat saya menjadi acuh kepadanya dan menimbulkan kesan bahwa saya jahat.

Saya tidak jahat. Saya hanya membencinya ! Ini yang selalu dijeritkan hati kecil saya dan hal ini terus menyesakkan saya, sebab selalu terngiang kata "om kamu jahat".

Lama saya merenungkan ucapan keponakan saya dan meyakinkan diri bahwa saya tidak jahat. Tetapi sampai liburan berakhir, masih saja terngiang kata "om kamu jahat".

Dua bulan berlalu sejak saya berlibur ke Semarang, dan saya mendapat kesempatan untuk ke Semarang lagi. Peristiwa yang terjadi dua bulan lalu sudah mulai hilang dari ingatan saya, meskipun masih terngiang kata "om kamu jahat". Saya kembali ke Semarang dengan satu tekad, saya harus buktikan bahwa saya tidak jahat. 

Bagaimana saya membuktikannya ?

Bagaimana saya mengatasi kebencian saya kepada kakak lelaki saya ?

---Tunggu kisah selanjutnya---

No comments:

Post a Comment